BUDIDAYA
TANAMAN JAHE ( Zingiber Officinale )
|
PENGEMBANGAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA PERKEBUNAN KARET
Oleh Dr. Ir. Yul H. Bahar
Pada saat kunjungan Presiden SBY tahun lalu ke areal percontohan pertanaman karet untuk melakukan penyadapan perdana kabupaten Muaro Jambi, tepatnya pada tanggal 22 September 2011, telah diarahkan agar dilakukan upaya meningkatkan pendapatan petani karet dengan komoditas atau usaha lain, sehingga bukan hanya berasal dari produksi karet. Dari arahan tersebut maka salah satu upaya yang dilakukanlah adalah Peningkatan Pendapatan Petani melalui Pengembangan Jahe sebagai Tanaman Sela diantara tanaman pada perkebunan karet. Upaya ini telah didahului dengan percontohan seluas satu Ha oleh BPTP Jambi bekerjasama dengan BALITRO. Penanaman jahe ini telah dilakukan pada pertengahan Desember 2011.
Sebagai tindak lanjut untuk pengembangan pada areal lebih luas, maka Ditjen Hortikultura melalui pendanaan yang dialokasikan ke Dinas Pertanian Provinsi Jambi, melakukan penanaman jahe dibawah tegakan karet dengan target seluas 5,5 Hektar, bertempat di desa Mudung Darat, Kecamatan Muara Sebo (kabupaten Muaro Jambi). Kegiatan ini masih merupakan demplot untuk percontohan dan pemasyarakatan model, serta sebagai media penelaahan dan kajian untuk memperoleh masukan bagi penyempurnaan kegiatan di masa mendatang.
Pada tahap awal baru ditanam seluas 0,5 Ha tanaman jahe dibawah tegakan karet, hasil tahap pertama ini ternyata pertumbuhannya cukup bagus, begitu juga halnya penanaman yang dilakukan oleh BPTP Jambi yang akan digunakan sebagai sumber benih. Sangat beruntung pada saat kunjungan Menteri Pertanian ke Jambi yang datang bersama rombongan presiden dalam acara Hari Pers Nasional (HPN) ke 37 pada tanggal 9 Pebruari 2012, beliau berkesempatan hadir meninjau lokasi pengembangan tersebut, sekaligus berdialog dengan masyarakat tanidan petugas lapangan pengembangan jahe di bawah tegakan karet.
Prospek Pengembangan
Tananam jahe menempati areal terluas dibandingkan dengan tanaman rimpang lainnya, pada tahun 2010 areal produksinya seluas 6053 Ha (sekitar 35 % dari areal produksi rimpang) dengan produksi sebesar 107,7 ribu ton. Bila dilihat dari neraca ekspor impor, maka Indonesia merupakan net importir tanaman jahe karena data tahun 2010 menunjukkan ekspor jahe sebesar 1900 ton sementara impornya sebesar 4200 ton, namun demikian dari segi jumlah, impor ini hanya sebesar 1,7 persen dari total produksi.
Adanya ekspor-impor tersebut menunjukkan bahwa potensi permintaan dan pasar jahe dalam negeri masih besar, dan kesempatan untuk ekspor juga terbuka. Ekspor jahe indonesia terbesar adalah ke Bangladesh, diikuti oleh Malaysia, Jepang dan Saudi Arabia. Sementara impor terbesar berasal dari Malaysia dan China yang umumnya merupakan jahe gajah yang digunakan sebagai bumbu masak. Namun demikian pada tahun 2011 kita pernah tersentak dengan maraknya impor jahe gajah tersebut dengan harga murah pada saat produksi dalam negeri menurun.
Dengan adanya fenomena perdagangan dan peningkatan permintaan mendukung kebutuhan industri, ekspor, dan apalagi dengan adanya saintifikasi jamu, maka pengembangan jahe dewasa ini sudah menjadi priorotas, salah satunya dilakukan melalui penanaman di bawah tegakan tanaman karet.
Selama ini dan pada umumnya lahan di bawah tegakan karet tidak termanfaatkan secara optimal dan bahkan bisa menjadi sarang OPT bagi tanaman karet itu sendiri ataupun hama lainnya, karena tidak terurus dan lembab. Pemilihan tanaman jahe untuk pengembangan tanaman terpadu ini karena tanaman jahe beradaptasi baik untuk hidup di bawah tegakan karet atau berada di bawah naungan.
Tujuan pengembangan jahe dibawah tegakan karet ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani pada saat tanaman karetnya belum berproduksi, disamping optimalisasi pemanfaatan lahan melalui pertanian terpadu. Beberapa keuntungan dan manfaat pengembangan ;
1. Memanfaatkan lahan di bawah tegakan karet secara optimal, yang selama ini tidak dimanfaatkan dan banyak dibiarkan sebagai semak-semak.
2. Meningkatkan produksi jahe dalam sekala besar dan komersial untuk kebutuhan industri jamu dan ekspor.
3. Meningkatkan pemeliharaan tanaman karet melalui pembersihan dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang selama ini tidak terurus
4. Meningkatkan pertumbuhan tanaman karet dan produksi dengan adanya pengaruh dari pemupukan dan pemeliharaan tanaman jahe di bawah karet.
5. Memberikan tambahan keuntungan dan penghasilan bagi petani karet selama karet belum menghasilkan atau tambahan pendapatan diluar produksi karet.
Hasil analisis usahatani jahe menunjukkan, bahwa produksi jahe bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 181,25 juta, sementara pengeluaran untuk biaya produksi sebanyak Rp. 72,47 juta, dengan demikian keuntungan dalam usaha budidaya jahe selama satu musim akan mencapai 108,78 juta, untuk waktu produksi selama sembilan bulan. Dengan demikian BC rasio usaha budidaya jahe adalah sebesar 2,51, bila harga jual Rp. 14500/Kg dan tidak banyak hambatan dan serangan hama. Komponen terbesar dalam budidaya ini adalah untuk pembelian benih sebanyak 1,25 ton/Ha, sehingga memerlukan biaya sebesar Rp. 34,5 Juta, komponen kedua adalah pupuk organik sekitar 25 ton dengan biaya sekitar Rp. 25 Juta.
Karena penanaman jahe tumpang sari dengan karet, maka dari satu hektar lahan perkebunan karet, yang dapat dimanfaatkan diperkirakan hanya 0,5 ha, dan juga diperkirakan belum didapatkan produksi optimal. Dengan asumsi ini maka produksi hanya diperkirakan sekitar 80 % dari kondisi optimal. Dengan demikian produksi yang akan didapatkan sekitar 0,5 ha adalah sebanyak 5 ton jahe basah, dengan demikian bila dikelola secara baik, maka minimal tambahan yang akan didapatkan adalah sebanyak Rp. 72,5 juta per musim. Dari perhitungan ini emm[perlihatkan bahwa pengembangan jahe di bawah tegakan karet ini cukup prospektif, karena memberikan tambahan pendapatan yang signifikan bagi petani. Lebih dari itu, secara umum pengembangan jahe di bawah tegakan karet secara besar-besaran juga akan berkontribusi posiitif pada peningkatan produksi dan daya saing jahe kita.
Langkah Tindak Lanjut
Pemilihan benih yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan, sehingga kualitas dan produktifitas jahe menjadi baik. Saat ini yang dikembangkan pada pilot project ini adalah jahe merah yang selama ini cukup baik pertumbuhannya. sebagaimana telah diuji-coba oleh BPTP Provinsi Jambi di dekat lokasi tersebut. Hasil panen dari areal uji coba ini diharapkan akan menjadi sumber benih pada pengembangan selanjutnya, karena yang ditanam oleh BPTP Jambi adalah benih sumber (BS) yang berasal dari BALITRO Bogor.
Mengingat pengembangan jahe di bawah tegakan karet ini cukup luas, maka dari awal perlu dicarikan pemasarannya, atau mencari perusahaan mitra yang mau membantu pemasaran. Perusahaan pengelolah karet yang ada di Jambi selama ini hanya manampung produksi karet petani, ke depan diharapkan perusahaan ini dapat menjadi mitra dan bapak angkat petani dalam menampung dan memasarkan jahe petani. Mengingat jumlah perusahaan pengolah karet ini tidak banyak (hanya sekitar 3 perusahaan) maka untuk itu perlu pendekatan khusus dan memberikan pemahaman positif kepada pengelola perusahaan karet tersebut.
Perusahaan industri jamu ataupun eksportir rempah dan tanaman obat juga perlu digaet dan diajak bekerjasama dalam menamping dan memasarkan produk jahe ini, selama ini industri dan eksportir rempah dan obat tersebut ini banyak terdapat di pulau Jawa. Mengingat skala usaha yang dikembangkan cukup luas dan masih akan ditingkatkan lagi (di lokasi ini direncanakan akan dikembangkan seluas 100 Ha), maka upaya mendatangkan industri dan eksportir ini perlu dilakukan, untuk melihat potensi dan kemungkinan kerjasama.
Nilai tambah hasil jahe juga perlu difikirkan semenjak awal, bila hanya dijual dalam keadaan basah (segar) maka nilai tambahnya tidak begitu besar disamping mudah rusak. Penanganan pascapanen dengan mengolah menjadi simplisia perlu dijadikan komponen kegiatan pengembangan jahe ini, dengan demikian disamping meningkatkan nilai tambah juga memudahkan dalam transportasi dan distribusi, bisa disimpan dalam waktu lama.
Pembinaan dan menumbuhkan champion tanaman obat ataupun penggerak membangun desa (PMD) tanaman obat juga perlu dilakukan. Dengan demikian mereka dapat diajak dan diandalkan menjadi pelopor dalam menerobos pasar, kemitraan usaha dengan industri dan eksportir. Sejauh ini champion dan PMD ini masih belum dijajaki di daerah Muaro Jambi ini, ke depan hal ini tentunya diharapkan dapat ditumbuhkan.
Dukungan Program dan Kebijakan
Pada saat kunjungan Menteri Pertanian di Kecamatan Muaro Sebo ini sudah mengatakan bahwa kegiatan pengembangan karet dan jahe terpadu ini sangat bagus dan perlu dikembangkan. Bahkan beliau menantang supaya di lokasi model ini dapat dikembangkan seluas 100 Ha, Tentu ini merupakan perintah Menteri ke Ditjen Hortikultura dan Dinas Pertanian Jambi yang perlu ditindak lanjuti. Karena itu kegiatan ini akan dilanjutkan dan diperbesar dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pengusaha eksportir dan pengusaha karet.
Selanjutnya salam perencanaan kegiatan 2013, pengembangan jahe ini telah dimasukkan dan dijadikan salah satu kegiatan unggulan dan prioritas. Kerjasama dan dukungan dari Ditjen Perkebunan yang menangani komoditas karet juga diperlukan. Dorongan dan dukungan berbagai pihak untuk penyempurnaan konsep, pembinaan intensif kepada petani dan pengembangan skala luas akan dilakukan dengan melibatkan berbagai institusi terkait, seperti halnya Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perdagangan, lembaga penelitian dan pengembangan, Dinas Perindustrian, dll.
Oleh Dr. Ir. Yul H. Bahar
Pada saat kunjungan Presiden SBY tahun lalu ke areal percontohan pertanaman karet untuk melakukan penyadapan perdana kabupaten Muaro Jambi, tepatnya pada tanggal 22 September 2011, telah diarahkan agar dilakukan upaya meningkatkan pendapatan petani karet dengan komoditas atau usaha lain, sehingga bukan hanya berasal dari produksi karet. Dari arahan tersebut maka salah satu upaya yang dilakukanlah adalah Peningkatan Pendapatan Petani melalui Pengembangan Jahe sebagai Tanaman Sela diantara tanaman pada perkebunan karet. Upaya ini telah didahului dengan percontohan seluas satu Ha oleh BPTP Jambi bekerjasama dengan BALITRO. Penanaman jahe ini telah dilakukan pada pertengahan Desember 2011.
Sebagai tindak lanjut untuk pengembangan pada areal lebih luas, maka Ditjen Hortikultura melalui pendanaan yang dialokasikan ke Dinas Pertanian Provinsi Jambi, melakukan penanaman jahe dibawah tegakan karet dengan target seluas 5,5 Hektar, bertempat di desa Mudung Darat, Kecamatan Muara Sebo (kabupaten Muaro Jambi). Kegiatan ini masih merupakan demplot untuk percontohan dan pemasyarakatan model, serta sebagai media penelaahan dan kajian untuk memperoleh masukan bagi penyempurnaan kegiatan di masa mendatang.
Pada tahap awal baru ditanam seluas 0,5 Ha tanaman jahe dibawah tegakan karet, hasil tahap pertama ini ternyata pertumbuhannya cukup bagus, begitu juga halnya penanaman yang dilakukan oleh BPTP Jambi yang akan digunakan sebagai sumber benih. Sangat beruntung pada saat kunjungan Menteri Pertanian ke Jambi yang datang bersama rombongan presiden dalam acara Hari Pers Nasional (HPN) ke 37 pada tanggal 9 Pebruari 2012, beliau berkesempatan hadir meninjau lokasi pengembangan tersebut, sekaligus berdialog dengan masyarakat tanidan petugas lapangan pengembangan jahe di bawah tegakan karet.
Prospek Pengembangan
Tananam jahe menempati areal terluas dibandingkan dengan tanaman rimpang lainnya, pada tahun 2010 areal produksinya seluas 6053 Ha (sekitar 35 % dari areal produksi rimpang) dengan produksi sebesar 107,7 ribu ton. Bila dilihat dari neraca ekspor impor, maka Indonesia merupakan net importir tanaman jahe karena data tahun 2010 menunjukkan ekspor jahe sebesar 1900 ton sementara impornya sebesar 4200 ton, namun demikian dari segi jumlah, impor ini hanya sebesar 1,7 persen dari total produksi.
Adanya ekspor-impor tersebut menunjukkan bahwa potensi permintaan dan pasar jahe dalam negeri masih besar, dan kesempatan untuk ekspor juga terbuka. Ekspor jahe indonesia terbesar adalah ke Bangladesh, diikuti oleh Malaysia, Jepang dan Saudi Arabia. Sementara impor terbesar berasal dari Malaysia dan China yang umumnya merupakan jahe gajah yang digunakan sebagai bumbu masak. Namun demikian pada tahun 2011 kita pernah tersentak dengan maraknya impor jahe gajah tersebut dengan harga murah pada saat produksi dalam negeri menurun.
Dengan adanya fenomena perdagangan dan peningkatan permintaan mendukung kebutuhan industri, ekspor, dan apalagi dengan adanya saintifikasi jamu, maka pengembangan jahe dewasa ini sudah menjadi priorotas, salah satunya dilakukan melalui penanaman di bawah tegakan tanaman karet.
Selama ini dan pada umumnya lahan di bawah tegakan karet tidak termanfaatkan secara optimal dan bahkan bisa menjadi sarang OPT bagi tanaman karet itu sendiri ataupun hama lainnya, karena tidak terurus dan lembab. Pemilihan tanaman jahe untuk pengembangan tanaman terpadu ini karena tanaman jahe beradaptasi baik untuk hidup di bawah tegakan karet atau berada di bawah naungan.
Tujuan pengembangan jahe dibawah tegakan karet ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani pada saat tanaman karetnya belum berproduksi, disamping optimalisasi pemanfaatan lahan melalui pertanian terpadu. Beberapa keuntungan dan manfaat pengembangan ;
1. Memanfaatkan lahan di bawah tegakan karet secara optimal, yang selama ini tidak dimanfaatkan dan banyak dibiarkan sebagai semak-semak.
2. Meningkatkan produksi jahe dalam sekala besar dan komersial untuk kebutuhan industri jamu dan ekspor.
3. Meningkatkan pemeliharaan tanaman karet melalui pembersihan dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang selama ini tidak terurus
4. Meningkatkan pertumbuhan tanaman karet dan produksi dengan adanya pengaruh dari pemupukan dan pemeliharaan tanaman jahe di bawah karet.
5. Memberikan tambahan keuntungan dan penghasilan bagi petani karet selama karet belum menghasilkan atau tambahan pendapatan diluar produksi karet.
Hasil analisis usahatani jahe menunjukkan, bahwa produksi jahe bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 181,25 juta, sementara pengeluaran untuk biaya produksi sebanyak Rp. 72,47 juta, dengan demikian keuntungan dalam usaha budidaya jahe selama satu musim akan mencapai 108,78 juta, untuk waktu produksi selama sembilan bulan. Dengan demikian BC rasio usaha budidaya jahe adalah sebesar 2,51, bila harga jual Rp. 14500/Kg dan tidak banyak hambatan dan serangan hama. Komponen terbesar dalam budidaya ini adalah untuk pembelian benih sebanyak 1,25 ton/Ha, sehingga memerlukan biaya sebesar Rp. 34,5 Juta, komponen kedua adalah pupuk organik sekitar 25 ton dengan biaya sekitar Rp. 25 Juta.
Karena penanaman jahe tumpang sari dengan karet, maka dari satu hektar lahan perkebunan karet, yang dapat dimanfaatkan diperkirakan hanya 0,5 ha, dan juga diperkirakan belum didapatkan produksi optimal. Dengan asumsi ini maka produksi hanya diperkirakan sekitar 80 % dari kondisi optimal. Dengan demikian produksi yang akan didapatkan sekitar 0,5 ha adalah sebanyak 5 ton jahe basah, dengan demikian bila dikelola secara baik, maka minimal tambahan yang akan didapatkan adalah sebanyak Rp. 72,5 juta per musim. Dari perhitungan ini emm[perlihatkan bahwa pengembangan jahe di bawah tegakan karet ini cukup prospektif, karena memberikan tambahan pendapatan yang signifikan bagi petani. Lebih dari itu, secara umum pengembangan jahe di bawah tegakan karet secara besar-besaran juga akan berkontribusi posiitif pada peningkatan produksi dan daya saing jahe kita.
Langkah Tindak Lanjut
Pemilihan benih yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan, sehingga kualitas dan produktifitas jahe menjadi baik. Saat ini yang dikembangkan pada pilot project ini adalah jahe merah yang selama ini cukup baik pertumbuhannya. sebagaimana telah diuji-coba oleh BPTP Provinsi Jambi di dekat lokasi tersebut. Hasil panen dari areal uji coba ini diharapkan akan menjadi sumber benih pada pengembangan selanjutnya, karena yang ditanam oleh BPTP Jambi adalah benih sumber (BS) yang berasal dari BALITRO Bogor.
Mengingat pengembangan jahe di bawah tegakan karet ini cukup luas, maka dari awal perlu dicarikan pemasarannya, atau mencari perusahaan mitra yang mau membantu pemasaran. Perusahaan pengelolah karet yang ada di Jambi selama ini hanya manampung produksi karet petani, ke depan diharapkan perusahaan ini dapat menjadi mitra dan bapak angkat petani dalam menampung dan memasarkan jahe petani. Mengingat jumlah perusahaan pengolah karet ini tidak banyak (hanya sekitar 3 perusahaan) maka untuk itu perlu pendekatan khusus dan memberikan pemahaman positif kepada pengelola perusahaan karet tersebut.
Perusahaan industri jamu ataupun eksportir rempah dan tanaman obat juga perlu digaet dan diajak bekerjasama dalam menamping dan memasarkan produk jahe ini, selama ini industri dan eksportir rempah dan obat tersebut ini banyak terdapat di pulau Jawa. Mengingat skala usaha yang dikembangkan cukup luas dan masih akan ditingkatkan lagi (di lokasi ini direncanakan akan dikembangkan seluas 100 Ha), maka upaya mendatangkan industri dan eksportir ini perlu dilakukan, untuk melihat potensi dan kemungkinan kerjasama.
Nilai tambah hasil jahe juga perlu difikirkan semenjak awal, bila hanya dijual dalam keadaan basah (segar) maka nilai tambahnya tidak begitu besar disamping mudah rusak. Penanganan pascapanen dengan mengolah menjadi simplisia perlu dijadikan komponen kegiatan pengembangan jahe ini, dengan demikian disamping meningkatkan nilai tambah juga memudahkan dalam transportasi dan distribusi, bisa disimpan dalam waktu lama.
Pembinaan dan menumbuhkan champion tanaman obat ataupun penggerak membangun desa (PMD) tanaman obat juga perlu dilakukan. Dengan demikian mereka dapat diajak dan diandalkan menjadi pelopor dalam menerobos pasar, kemitraan usaha dengan industri dan eksportir. Sejauh ini champion dan PMD ini masih belum dijajaki di daerah Muaro Jambi ini, ke depan hal ini tentunya diharapkan dapat ditumbuhkan.
Dukungan Program dan Kebijakan
Pada saat kunjungan Menteri Pertanian di Kecamatan Muaro Sebo ini sudah mengatakan bahwa kegiatan pengembangan karet dan jahe terpadu ini sangat bagus dan perlu dikembangkan. Bahkan beliau menantang supaya di lokasi model ini dapat dikembangkan seluas 100 Ha, Tentu ini merupakan perintah Menteri ke Ditjen Hortikultura dan Dinas Pertanian Jambi yang perlu ditindak lanjuti. Karena itu kegiatan ini akan dilanjutkan dan diperbesar dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pengusaha eksportir dan pengusaha karet.
Selanjutnya salam perencanaan kegiatan 2013, pengembangan jahe ini telah dimasukkan dan dijadikan salah satu kegiatan unggulan dan prioritas. Kerjasama dan dukungan dari Ditjen Perkebunan yang menangani komoditas karet juga diperlukan. Dorongan dan dukungan berbagai pihak untuk penyempurnaan konsep, pembinaan intensif kepada petani dan pengembangan skala luas akan dilakukan dengan melibatkan berbagai institusi terkait, seperti halnya Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perdagangan, lembaga penelitian dan pengembangan, Dinas Perindustrian, dll.
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur
pola penganggaran terpadu (unified budget) dan berbasis kinerja (performance
budget) maka dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi harus
didasarkan pada indikator kinerja agar program pembangunan dapat dilaksanakan
secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Disamping itu target yang
tercantum pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2010-2014, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja –
Kementerian/Lembaga harus selalu menjadi acuan dalam pelaksanaan tahapan
pembangunan hortikultura.
Pembangunan hortikultura, secara umum dilaksanakan oleh petani dan masyarakat tani hortikultura di daerah pedesaan dan perkotaan. Pembangunan pertanian hortikultura ini pelaksanaanya diarahkan melalui kelompok tani sehingga dapat meningkatkan koordinasi serta sinergi dengan program dan kegiatan lainnya. Sejauh ini, program dan kegiatan pembangunan selalu diberikan kepada kelembagaan tani bukan kepada petani perorangan. Oleh karena itu pembentukan, penguatan, dan pemberdayaan kelembagaan petani merupakan hal penting dalam pembangunan hortikultura.
Direktorat Jenderal Hortikultura telah melaksanakan pola pemberdayaan petani melalui berbagai kegiatan berupa peningkatan kemampuan teknis dan penguatan modal usaha dalam bentuk bantuan sosial. Pemanfaatan bantuan sosial tersebut ditujukan untuk melindungi kelompok tani skala kecil yang rawan terhadap risiko sosial. Melalui bantuan sosial tersebut diharapkan kelompok tani mampu menjadi lembaga mandiri yang dapat mengelola sumberdaya yang dimiliki. Pola pemberdayaan seperti ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kelompok usaha dan mempercepat terbentuknya jaringan kelembagaan hortikultura di pedesaan yang akan menjadi embrio bagi tumbuhnya lembaga usaha petani yang kokoh di kawasan pengembangan hortikultura. Pola bantuan tersebut adalah dengan memanfaatkan jenis belanja bantuan sosial yang didefinisikan sebagai bantuan melalui transfer uang, barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar serta Buletin Teknis, maka dimungkinkan penyaluran dana ke masyarakat secara langsung guna membiayai program pembangunan.
Bantuan sosial yang dimaksud dalam petunjuk ini merupakan bantuan sosial dengan transfer uang kepada kelompok penerima manfaat (kelompok tani/gabungan kelompok tani dan lembaga) untuk membiayai kegiatan pengembangan kawasan hortikultura. Petunjuk Teknis ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/OT.140/1/2012 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Sosial Kementerian Pertanian Tahun Anggaran 2012.
Pembangunan hortikultura, secara umum dilaksanakan oleh petani dan masyarakat tani hortikultura di daerah pedesaan dan perkotaan. Pembangunan pertanian hortikultura ini pelaksanaanya diarahkan melalui kelompok tani sehingga dapat meningkatkan koordinasi serta sinergi dengan program dan kegiatan lainnya. Sejauh ini, program dan kegiatan pembangunan selalu diberikan kepada kelembagaan tani bukan kepada petani perorangan. Oleh karena itu pembentukan, penguatan, dan pemberdayaan kelembagaan petani merupakan hal penting dalam pembangunan hortikultura.
Direktorat Jenderal Hortikultura telah melaksanakan pola pemberdayaan petani melalui berbagai kegiatan berupa peningkatan kemampuan teknis dan penguatan modal usaha dalam bentuk bantuan sosial. Pemanfaatan bantuan sosial tersebut ditujukan untuk melindungi kelompok tani skala kecil yang rawan terhadap risiko sosial. Melalui bantuan sosial tersebut diharapkan kelompok tani mampu menjadi lembaga mandiri yang dapat mengelola sumberdaya yang dimiliki. Pola pemberdayaan seperti ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kelompok usaha dan mempercepat terbentuknya jaringan kelembagaan hortikultura di pedesaan yang akan menjadi embrio bagi tumbuhnya lembaga usaha petani yang kokoh di kawasan pengembangan hortikultura. Pola bantuan tersebut adalah dengan memanfaatkan jenis belanja bantuan sosial yang didefinisikan sebagai bantuan melalui transfer uang, barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar serta Buletin Teknis, maka dimungkinkan penyaluran dana ke masyarakat secara langsung guna membiayai program pembangunan.
Bantuan sosial yang dimaksud dalam petunjuk ini merupakan bantuan sosial dengan transfer uang kepada kelompok penerima manfaat (kelompok tani/gabungan kelompok tani dan lembaga) untuk membiayai kegiatan pengembangan kawasan hortikultura. Petunjuk Teknis ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/OT.140/1/2012 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Sosial Kementerian Pertanian Tahun Anggaran 2012.
Tujuan
Tujuan penyusunan Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Sosial Direktorat Jenderal Hortikultura ini adalah :
Tujuan penyusunan Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Sosial Direktorat Jenderal Hortikultura ini adalah :
- Untuk memberikan acuan bagi Tim Teknis dalam penyaluran dan pengelolaan bantuan sosial baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
- Memperlancar pelaksanaan penyaluran dan pengelolaan bantuan sosial secara tertib, baik administrasi maupun pemanfaatannya.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup petunjuk ini meliputi Jenis Kegiatan dan Kriteria Penerima Manfaat Bantuan Sosial, Mekanisme Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Sosial, Pembinaan dan Pengendalian, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan.
Ruang lingkup petunjuk ini meliputi Jenis Kegiatan dan Kriteria Penerima Manfaat Bantuan Sosial, Mekanisme Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Sosial, Pembinaan dan Pengendalian, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan.
Indikator Keberhasilan
Sasaran penyaluran bantuan sosial dapat dilihat dengan indikator keberhasilan yang mencakup indikator input, output, outcome, benefit dan impact.
- Masukan (Input)
a. Sumber Daya Manusia (petugas dan pelaku usaha);
b. Petunjuk Umum Pengelolaan Bantuan Sosial Kementerian Pertanian Tahun 2012;
c. Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial lingkup Direktorat Jenderal Hortikultura Tahun 2012;
d. Alokasi APBN Pengembangan Hortikultura sebesar: Rp. 193.883.750.000,- - Keluaran (Output)
Tersalurnya bantuan sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok sasaran melalui kegiatan pengembangan/pengutuhan kawasan tanaman buah, florikultura, tanaman sayuran dan tanaman obat di 229 kab/kota yang tersebar pada 32 provinsi. - Hasil (Outcome)
Menguatnya permodalan usaha dan kemampuan kelompok tani/ Gapoktan dalam peningkatan produksi dan mutu produk hortikultura untuk pengembangan/pengutuhan kawasan hortikultura (kawasan tanaman buah :8.041 Ha, kawasan florikultura : 354.850 M2, kawasan tanaman sayuran dan tanaman obat 5.148 Ha). - Manfaat (Benefit)
Meningkatnya kelembagaan usaha petani dalam rangka pengembangan/pengutuhan kawasan tanaman buah, florikultura, sayuran dan tanaman obat. - Dampak (Impact)
Peningkatan
produksi, produktivitas dan mutu produk hortikultura melalui pengembangan
kawasan tanaman buah, kawasan tanaman florikultura, kawasan sayuran dan tanaman
obat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar