Kamis, 07 Juni 2012

BUDIDAYA TANAMAN JAHE.


BUDIDAYA TANAMAN JAHE ( Zingiber Officinale )



PENDAHULUAN
Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah Indonesia, disamping itu juga menjadi bahan baku obat tradisional maupun fitofarmaka, yang memberikan peranan cukup berarti dalam penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara. Sebagai komoditas ekspor dikemas berupa jahe segar, asinan (jahe putih besar), jahe kering (jahe putih besar, kecil dan jahe merah), maupun minyak atsiri dari jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah. Volume permintaannya terus meningkat seiring dengan permintaan produk jahe dunia serta makin berkembangnya industri makanan dan minuman di dalam negeri yang menggunakan bahan baku jahe.

Pada tahun 1998, ekspor jahe Indonesia mencapai 32.807 ton dengan nilai nominal US $ 9.286.161. Tahun 2003 turun menjadi 7.470 ton dengan nilai US $ 3.930.317 karena mutu yang tidak memenuhi standar. Namun permintaan jahe mengalami peningkatan setiap tahun. Kondisi ini di Indonesia, direspon dengan makin berkembangnya areal penanaman dan munculnya berbagai produk jahe. Pengembangan jahe skala luas sampai saat ini perlu didukung dengan upaya pembudidayaannya secara optimal dan berkesinambungan. Untuk mencapai tingkat keberhasilan budidaya yang optimal diperlukan bahan tanaman dengan jaminan produksi dan mutu yang baik serta stabil dengan cara menerapkan budidaya anjuran. Adanya penolakan ekspor jahe Indonesia di negara tujuan terutama Jepang, karena tingginya cemaran mikroorganisme, mengakibatkan anjloknya pendapatan petani jahe. Hal ini perlu segera diantisipasi dengan menerapkan budidaya anjuran terbaik diantaranya dengan penggunaan bahan tanaman sehat yang berasal dari varietas unggul. Selain itu, karena kualitas simplisia bahan baku industri hilir ditentukan oleh proses budidaya dan pascapanennya, maka pembakuan standar prosedur operasional (SPO) budidaya jahe dibuat guna mendukung GAP (Good Agricultural Practices).

PERSYARATAN TUMBUH
Untuk budidaya jahe diperlukan lahan di daerah yang sesuai untuk pertumbuhannya. Untuk pertumbuhan jahe yang optimal diperlukan persyaratan iklim dan lahan sebagai berikut : iklim tipe A, B dan C (Schmidt & ferguson), ketinggian tempat 300 - 900 m dpl., temperatur rata-rata tahunan 25 - 30ยบ C, jumlah bulan basah (> 100 mm/bl) 7 - 9 bulan per tahun, curah hujan per tahun 2 500 – 4 000 mm, intensitas cahaya matahari 70 - 100% atau agak ternaungi sampai terbuka, drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, pH tanah 6,8 – 7,4. Pada lahan dengan pH rendah dapat diberikan kapur pertanian (kaptan) 1 - 3 ton/ha atau dolomit 0,5 – 2 ton/ha untuk meningkatkan pH tanah. Pada lahan dengan kemiringan > 3% dianjurkan untuk dilakukan pembuatan teras, teras bangku sangat dianjurkan bila kemiringan lereng cukup curam. Hal ini untuk menghindari terjadinya pencucian lahan yang mengakibatkan tanah menjadi tidak subur, dan benih jahe hanyut terbawa arus. Persyaratan lahan lainnya yang juga penting bagi penamaman jahe adalah lahan bukan merupakan daerah
endemik penyakit tular tanah (soil borne diseases) terutama bakteri layu dan nematoda. Untuk menjamin kesehatan lahan, sebaiknya lahan yang digunakan bukan bekas jahe, atau tidak ada serangan penyakit bakteri layu dilahan tersebut dan hanya dua kali berturut-turut ditanami jahe. Tahun berikutnya dianjurkan pindah tempat untuk menghindari kegagalan panen karena kendala penyakit dan adanya gejala allelopati.
BAHAN TANAMAN
Jahe (Zingiber officinale Rosc.; Ginger) adalah tanaman herbal tahunan yang tergolong famili Zingiberaceae, dengan daun berpasang-pasangan dua-dua berbentuk pedang, rimpang seperti tanduk, beraroma. Selama ini di Indonesia, berdasarkan pada bentuk, warna dan aroma rimpang serta komposisi kimianya dikenal 3 tipe jahe, yaitu jahe putih besar, jahe emprit dan jahe merah. Jahe putih besar (Z. officinale var. officinarum) mempunyai rimpang besar berbuku, berwarna putih kekuningan dengan diameter 8,47 – 8,50 cm, aroma kurang tajam, tinggi dan panjang rimpang 6,20 – 11,30 dan 15,83 – 32,75 cm, warna daun hijau muda, batang hijau muda dengan kadar minyak atsiri didalam rimpang 0,82 – 2,8%. Jahe putih kecil (Z. officinale var. amarum) mempunyai rimpang kecil berlapis-lapis, aroma tajam, berwarna putih kekuningan dengan diameter 3,27 – 4,05 cm, tinggi dan panjang rimpang 6,38 – 11,10 dan 6,13 – 31,70 cm, warna daun hijau muda, batang hijau muda dengan kadar minyak atsiri 1,50 – 3,50%. Jahe merah (Z. officanale var. rubrum) mempunyai rimpang kecil berlapis, aroma sangat tajam, berwarna jingga muda sampai merah dengan diameter 4,20 – 4,26 cm, tinggi dan panjang rimpang 5,26 – 10,40 dan 12,33 – 12,60 cm, warna daun hijau muda, batang hijau kemerahan dengan kadar minyak atsiri 2,58 – 3,90%. Balittro telah melepas varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 17 - 37 ton/ha. Sedangkan calon varietas unggul jahe putih kecil dan jahe merah rata-rata potensi produksinya masing-masing untuk jahe putih kecil adalah 16 ton/ha dengan kadar minyak atsiri 1,7 – 3,8%, kadar oleoresin 2,39 – 8,87%. Sedangkan jahe merah potensi produksinya 22 ton/ha, kadar minyak atsiri 3,2 – 3,6%, kadar oleoresin 5,86 – 6,36%.
PEMBENIHAN
Benih yang digunakan harus jelas asal usulnya, sehat dan tidak tercampur dengan varietas lain. Benih yang sehat harus berasal dari pertanaman yang sehat, tidak terserang penyakit. Beberapa penyakit penting pada tanaman jahe yang umum dijumpai, terutama jahe putih besar, adalah layu bakteri (Ralstonia solanacearum), layu fusarium (Fusarium oxysporum), layu rizoktonia (Rhizoctonia solani), nematode (Rhodopolus similis) dan lalat rimpang (Mimergralla coeruleifrons, Eumerus figurans) serta kutu perisai (Aspidiella hartii). Rimpang yang telah terinfeksi penyakit tidak dapat digunakan sebagai benih karena akan menjadi sumber penularan penyakit di lapangan. Pemilihan benih harus dilakukan sejak pertanaman masih di lapangan. Apabila terdapat tanaman yang terserang penyakit atau tercampur dengan jenis lain, maka tanaman yang terserang penyakit dan tanaman jenis lain harus dicabut dan dijauhkan dari areal pertanaman. Pemilihan (penyortiran) selanjutnya dilakukan setelah panen, yaitu di gudang penyimpanan. Pemeriksaan dilakukan untuk membuang benih yang terinfeksi hama dan penyakit atau membuang benih dari jenis lain. Rimpang yang akan digunakan untuk benih harus sudah tua minimal berumur 10 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain
kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas. Rimpang yang terpilih untuk dijadikan benih, sebaiknya mempunyai 2 - 3 bakal mata tunas yang baik dengan bobot sekitar 25 - 60 g untuk jahe putih besar, 20 - 40 g untuk jahe putih kecil dan jahe merah. Kebutuhan benih per ha untuk jahe merah dan jahe emprit 1 – 1,5 ton, sedangkan jahe putih besar yang dipanen tua membutuhkan benih 2 - 3 ton/ha dan 5 ton/ha untuk jahe putih besar yang dipanen muda. Bagian rimpang yang terbaik dijadikan benih adalah rimpang pada ruas kedua dan ketiga. Sebelum ditanam rimpang benih ditunaskan terlebih dahulu dengan cara menyemaikan yaitu, menghamparkan rimpang di atas  jerami/alang-alang tipis, di tempat yang teduh atau di dalam gudang penyimpanan dan tidak ditumpuk. Untuk itu biasa digunakan wadah atau rak-rak terbuat dari bambu atau kayu sebagai alas. Selama penyemaian dilakukan penyiraman setiap hari sesuai kebutuhan, untuk menjaga kelembaban rimpang. Benih rimpang bertunas dengan tinggi
tunas yang seragam 1 - 2 cm, siap ditanam di lapangan dan dapat beradaptasi langsung, juga tidak mudah rusak. Rimpang yang sudah bertunas tersebut kemudian diseleksi dan dipotong menurut ukuran. Untuk mencegah infeksi bakteri, dilakukan perendaman didalam larutan antibiotik dengan dosis anjuran. Kemudian dikering anginkan.
BUDIDAYA
Untuk mencapai hasil yang optimal didalam budidaya jahe putih besar, jahe putih kecil maupun jahe merah, selain menggunakan varietas unggul yang jelas asal usulnya perlu diperhatikan juga cara budidayanya.
a.    Persiapan lahan
Sebelum tanam dilakukan pengolahan tanah. Tanah diolah sedemikian rupa agar gembur dan dibersihkan dari gulma. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara menggarpu dan mencangkul tanah sedalam 30 cm, dibersihkan dari ranting-ranting dan sisa-sisa tanaman yang sukar lapuk. Untuk tanah dengan lapisan olah tipis, pengolahan tanahnya harus hati-hati disesuaikan dengan lapisan tanah tersebut dan jangan dicangkul atau digarpu terlalu dalam sehingga tercampur antara lapisan olah dengan lapisan tanah bawah, hal ini dapat mengakibatkan tanaman kurang subur tumbuhnya. Setelah tanah diolah dan digemburkan, dibuat bedengan searah lereng (untuk tanah yang miring), sistim guludan atau dengan sistim pris (parit). Pada bedengan atau guludan kemudian dibuat lubang tanam. 
b.    Jarak tanam
Benih jahe ditanam sedalam 5 - 7 cm dengan tunas menghadap ke atas, jangan terbalik, karena dapat menghambat pertumbuhan. Jarak tanam yang digunakan untuk penanaman jahe putih besar yang dipanen tua adalah 80 cm x 40 cm atau 60 cm x 40 cm, jahe putih kecil dan jahe merah 60 cm x 40 cm.

c.    Pemupukan
Pupuk kandang domba atau sapi yang sudah masak sebanyak 20 ton/ha, diberikan 2 - 4 minggu sebelum tanam. Pada umur 4 bulan setelah tanam dapat pula diberikan pupuk kandang ke dua sebanyak 20 ton/ha.

d.    Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik.

           1. Penyiangan gulma
Sampai tanaman berumur 6 - 7 bulan banyak tumbuh gulma, sehingga penyiangan perlu dilakukan secara intensif secara bersih. Penyiangan setelah umur 4 bulan perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak perakaran yang dapat menyebabkan masuknya benih penyakit. Untuk mengurangi intensitas penyiangan bisa digunakan mulsa tebal dari jerami atau sekam.

            2. Penyulaman
Menyulam tanaman yang tidak tumbuh dilakukan pada umur 1 – 1,5 bulan setelah tanam dengan memakai benih cadangan yang sudah diseleksi dan disemaikan.
           3. Pembumbunan
Pembumbunan mulai dilakukan pada saat telah terbentuk rumpun dengan 4 - 5 anakan, agar rimpang selalu tertutup tanah. Selain itu, dengan dilakukan pembumbunan, drainase akan selalu terpelihara.
               4. Pengendalian organisme pengganggu tanaman
Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai dengan keperluan. Penyakit utama pada jahe adalah busuk rimpang yang disebabkan oleh serangan bakteri layu (Ralstonia solanacearum). Sampai saat ini belum ada metode pengendalian yang memadai, kecuali dengan menerapkan tindakan-tindakan untuk mencegah masuknya benih penyakit, seperti penggunaan lahan sehat, penggunaan benih sehat, perlakuan benih sehat (antibiotik), menghindari perlukaan (penggunaan abu sekam), pergiliran tanaman,
pembersihan sisa tanaman dan gulma, pembuatan saluran irigasi supaya tidak ada air menggenang dan aliran air tidak melalui petak  sehat (sanitasi), inspeksi kebun secara rutin. Tanaman yang terserang layu bakteri segera dicabut dan dibakar untuk menghindari meluasnya serangan OPT. Hama yang cukup signifikan adalah lalat rimpang Mimergralla coeruleifrons (Diptera, Micropezidae) dan Eumerus figurans (Diptera, Syrpidae), kutu perisai (Aspidiella hartii) yang menyerang rimpang mulai dari pertanaman dan menyebabkan penampilan rimpang kurang baik serta bercak daun yang disebabkan oleh cendawan (Phyllosticta sp.). Serangan penyakit ini apabila terjadi
pada tanaman muda (sebelum 6 bulan) akan menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan. Tindakan mencegah perluasan penyakit ini dengan menyemprotkan fungisida segera setelah terlihat ada serangan (diulang setiap minggu sekali), sanitasi tanaman sakit, inspeksi secara rutin.
POLA TANAM
Untuk meningkatkan produktivitas lahan, jahe dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pangan seperti kacang-kacangan dan tanaman sayuran, sesuai dengan kondisi lahan.
PANEN
Panen untuk konsumsi dimulai pada umur 6 sampai 10 bulan. Tetapi, rimpang untuk benih dipanen pada umur 10 - 12 bulan. Cara panen dilakukan dengan membongkar seluruh rimpangnya menggunakan garpu, cangkul, kemudian tanah yang menempel dibersihkan. Dengan menggunakan varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu-1) dihasilkan rata-rata 27 ton rimpang segar, calon varietas unggul jahe putih kecil (JPK 3; JPK 6) dengan cara budidaya yang direkomendasikan, dihasilkan rata-rata 16 ton/ha rimpang segar dengan kadar minyak atsiri 1,7 – 3,8%, kadar oleoresin 2,39 – 8,87%. Sedangkan jahe merah 22 ton/ha dengan kadar minyak atsiri 3,2 – 3,6%, kadar oleoresin 5,86 – 6,36%. Mutu rimpang dari varietas unggul Cimanggu-1 dan calon varietas unggul jahe putih kecil dan jahe merah, memenuhi standar Materia Medika Indonesia (MMI). Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikatagorikan sebagai berikut: Mutu I : bobot 250 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing dan kapang; Mutu II : bobot 150 - 249 g/rimpang, kulitnya tidak terkelupas, tidak mengandung benda asing dan kapang; Mutu III : bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum 10%, benda asing maksimum 3%, kapang maksimum 10%

PASCA PANEN
Tahapan pengolahan jahe meliputi penyortiran, pencucian, pengirisan, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan. Setelah panen, rimpang harus secepatnya dibersihkan untuk menghindari kotoran yang berlebihan serta mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Rimpang dibersihkan dengan disemprot air yang bertekanan tinggi, atau dicuci dengan tangan. Setelah pencucian, rimpang dianginanginkan untuk mengeringkan air pencucian. Untuk penjualan segar, jahe dapat langsung dikemas. Tetapi bila diinginkan dalam bentuk kering atau simplisia, maka perlu dilakukan pengirisan rimpang setebal 1 – 4 mm. Untuk mendapatkan simplisia dengan tekstur menarik, sebelum diiris rimpang direbus beberapa menit sampai terjadi proses gelatinisasi Rimpang yang sudah diiris, selanjutnya dikeringkan dengan energi surya atau dengan pengering buatan/oven pada suhu 36 – 46° C. Bila kadar air telah mencapai sekitar 8 - 10%, yaitu bila rimpang bisa dipatahkan, pengeringan telah dianggap cukup. Selain itu, dikenal jahe kering gelondong (jahe putih kecil dan jahe merah) yang diproses dengan cara rimpang jahe utuh ditusuk-tusuk agar air keluar sebagian, kemudian dijemur dengan energi matahari atau dioven sampai kering atau kadar air mencapai 8 - 10%. Rimpang kering dapat dikemas dalam peti, karung atau plastik yang kedap udara, dan dapat disimpan dengan aman, apabila kadar airnya rendah. Ruang penyimpan harus diperhatikan sanitasinya, berventilasi baik, dengan suhu ruangan yang rendah dan kering untuk mencegah pencemaran oleh mikroba dan hama gudang.

PENGANEKARAGAMAN PRODUK
Selain simplisia, dari rimpang jahe dapat diperoleh minyak atsiri, oleoresin, bubuk, jahe asinan, jahe dalam sirup, manisan jahe, jahe kristal dan anggur jahe. Asinan jahe merupakan bahan ekspor yang potensial, dibuat dari jahe putih besar yang dipanen muda (3 bulan), dengan kadar serat rendah. Sedangkan permen jahe, manisan, sirup, instant, serbat dan sekoteng berasal dari jahe putih kecil yang dipanen tua. Selain untuk bahan baku obat tradisional (jamu), jahe sudah mulai digunakan untuk obat fitofarmaka karena kandungan gingerolnya. Bahan aktif ini diisolasi dari ekstrak jahe yang bermanfaat untuk mengatasi rasa nyeri pada tulang, otot dan sendi.


















PENGEMBANGAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA PERKEBUNAN KARET
Oleh Dr. Ir. Yul H. Bahar

Pada saat kunjungan Presiden SBY tahun lalu ke areal percontohan pertanaman karet untuk melakukan penyadapan perdana kabupaten Muaro Jambi, tepatnya pada tanggal 22 September 2011, telah diarahkan agar dilakukan upaya meningkatkan pendapatan petani karet dengan komoditas atau usaha lain, sehingga bukan hanya berasal dari produksi karet.  Dari arahan tersebut maka salah satu upaya yang dilakukanlah adalah Peningkatan Pendapatan Petani melalui Pengembangan Jahe sebagai Tanaman Sela diantara tanaman pada perkebunan karet.  Upaya ini telah didahului dengan percontohan seluas satu Ha oleh BPTP Jambi bekerjasama dengan BALITRO. Penanaman jahe ini telah dilakukan pada pertengahan Desember 2011.
Sebagai tindak lanjut untuk pengembangan pada areal lebih luas, maka Ditjen Hortikultura melalui pendanaan yang dialokasikan ke Dinas Pertanian Provinsi Jambi, melakukan penanaman jahe dibawah tegakan karet dengan target seluas 5,5 Hektar, bertempat di desa Mudung Darat, Kecamatan Muara Sebo (kabupaten Muaro Jambi).  Kegiatan ini masih merupakan demplot untuk percontohan dan pemasyarakatan model, serta sebagai media penelaahan dan kajian untuk memperoleh masukan bagi penyempurnaan kegiatan di masa mendatang.
Pada tahap awal baru ditanam seluas 0,5 Ha tanaman jahe dibawah tegakan karet, hasil tahap pertama ini ternyata pertumbuhannya cukup bagus, begitu juga halnya penanaman yang dilakukan oleh BPTP Jambi yang akan digunakan sebagai sumber benih. Sangat beruntung pada saat kunjungan Menteri Pertanian ke Jambi yang datang bersama rombongan presiden dalam acara Hari Pers Nasional (HPN) ke 37 pada tanggal 9 Pebruari 2012, beliau berkesempatan hadir meninjau lokasi pengembangan tersebut, sekaligus berdialog dengan masyarakat tanidan petugas lapangan pengembangan jahe di bawah tegakan karet.

Prospek Pengembangan
Tananam jahe menempati areal terluas dibandingkan dengan tanaman rimpang lainnya, pada tahun 2010 areal produksinya seluas 6053 Ha (sekitar 35 % dari areal produksi rimpang) dengan produksi sebesar 107,7 ribu ton. Bila dilihat dari neraca ekspor impor, maka Indonesia merupakan net importir tanaman jahe karena data tahun 2010 menunjukkan ekspor jahe sebesar 1900 ton sementara impornya sebesar 4200 ton, namun demikian  dari segi jumlah, impor ini hanya sebesar 1,7 persen dari total produksi.
Adanya ekspor-impor tersebut menunjukkan bahwa potensi permintaan dan pasar jahe dalam negeri masih besar, dan kesempatan untuk ekspor juga terbuka. Ekspor jahe indonesia terbesar adalah ke Bangladesh, diikuti oleh Malaysia, Jepang dan Saudi Arabia.  Sementara impor terbesar berasal dari Malaysia dan China yang umumnya merupakan jahe gajah yang digunakan sebagai bumbu masak. Namun demikian pada tahun 2011 kita pernah tersentak dengan maraknya impor jahe gajah tersebut dengan harga murah pada saat produksi dalam negeri menurun.
Dengan adanya fenomena perdagangan dan peningkatan permintaan mendukung kebutuhan industri, ekspor, dan apalagi dengan adanya saintifikasi jamu, maka pengembangan jahe dewasa ini sudah menjadi priorotas, salah satunya dilakukan melalui penanaman di bawah tegakan tanaman karet.
Selama ini dan pada umumnya lahan di bawah tegakan karet tidak termanfaatkan secara optimal dan bahkan bisa menjadi sarang OPT bagi tanaman karet itu sendiri ataupun hama lainnya, karena tidak terurus dan lembab. Pemilihan tanaman jahe untuk pengembangan tanaman terpadu ini karena tanaman jahe beradaptasi baik untuk hidup di bawah tegakan karet atau berada di bawah naungan.
Tujuan pengembangan jahe dibawah tegakan karet ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani pada saat tanaman karetnya belum berproduksi, disamping optimalisasi pemanfaatan lahan melalui pertanian terpadu. Beberapa keuntungan dan manfaat pengembangan ;
1. Memanfaatkan lahan di bawah tegakan karet secara optimal, yang selama ini tidak dimanfaatkan dan banyak dibiarkan sebagai semak-semak.
2. Meningkatkan produksi jahe dalam sekala besar dan komersial untuk kebutuhan industri jamu dan ekspor.
3. Meningkatkan pemeliharaan tanaman karet melalui pembersihan dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang selama ini tidak terurus
4. Meningkatkan pertumbuhan tanaman karet dan produksi dengan adanya pengaruh dari pemupukan dan pemeliharaan tanaman jahe di bawah karet.
5. Memberikan tambahan keuntungan dan penghasilan bagi petani karet selama karet belum menghasilkan atau tambahan pendapatan diluar produksi karet.
Hasil analisis usahatani jahe menunjukkan, bahwa produksi jahe bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 181,25 juta, sementara pengeluaran untuk biaya produksi sebanyak Rp. 72,47 juta, dengan demikian keuntungan dalam usaha budidaya jahe selama satu musim akan mencapai 108,78 juta, untuk waktu produksi selama sembilan bulan.  Dengan demikian BC rasio usaha budidaya jahe adalah sebesar 2,51, bila harga jual Rp. 14500/Kg dan tidak banyak hambatan dan serangan hama. Komponen terbesar dalam budidaya ini adalah untuk pembelian benih sebanyak 1,25 ton/Ha, sehingga memerlukan biaya sebesar Rp. 34,5 Juta, komponen kedua adalah pupuk organik sekitar 25 ton dengan biaya sekitar Rp. 25 Juta.
Karena penanaman jahe tumpang sari dengan karet, maka dari satu hektar lahan perkebunan karet, yang dapat dimanfaatkan diperkirakan hanya 0,5 ha, dan juga diperkirakan belum didapatkan produksi optimal. Dengan asumsi ini maka produksi hanya diperkirakan sekitar 80 % dari kondisi optimal. Dengan demikian produksi yang akan didapatkan sekitar 0,5 ha adalah sebanyak 5 ton jahe basah, dengan demikian bila dikelola secara baik, maka minimal tambahan yang akan didapatkan adalah sebanyak Rp. 72,5 juta per musim. Dari perhitungan ini emm[perlihatkan bahwa pengembangan jahe di bawah tegakan karet ini cukup prospektif, karena memberikan tambahan pendapatan yang signifikan bagi petani. Lebih dari itu, secara umum pengembangan jahe di bawah tegakan karet secara besar-besaran juga akan berkontribusi posiitif pada peningkatan produksi dan daya saing jahe kita.

Langkah Tindak Lanjut
Pemilihan benih yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan, sehingga kualitas dan produktifitas jahe menjadi baik. Saat ini yang dikembangkan pada pilot project ini adalah jahe merah yang selama ini cukup baik pertumbuhannya.   sebagaimana  telah diuji-coba oleh BPTP Provinsi Jambi di dekat lokasi tersebut. Hasil panen dari areal uji coba ini diharapkan akan menjadi sumber benih pada pengembangan selanjutnya, karena yang ditanam oleh BPTP Jambi adalah benih sumber (BS) yang berasal dari BALITRO Bogor.
Mengingat pengembangan jahe di bawah tegakan karet ini cukup luas, maka dari awal perlu dicarikan pemasarannya, atau mencari perusahaan mitra yang mau membantu pemasaran.  Perusahaan pengelolah karet yang ada di Jambi selama ini hanya manampung produksi karet petani, ke depan diharapkan perusahaan ini dapat menjadi mitra dan bapak angkat petani dalam menampung dan memasarkan jahe petani. Mengingat jumlah perusahaan pengolah karet ini tidak banyak (hanya sekitar 3 perusahaan) maka untuk itu perlu pendekatan khusus dan memberikan pemahaman positif kepada pengelola perusahaan karet tersebut.
Perusahaan industri jamu ataupun eksportir rempah dan tanaman obat juga perlu digaet dan diajak bekerjasama dalam menamping dan memasarkan produk jahe ini, selama ini industri dan eksportir rempah dan obat tersebut ini banyak terdapat di pulau Jawa. Mengingat skala usaha yang dikembangkan cukup luas dan masih akan ditingkatkan lagi (di lokasi ini direncanakan akan dikembangkan seluas 100 Ha), maka upaya mendatangkan industri dan eksportir ini perlu dilakukan, untuk melihat potensi dan kemungkinan kerjasama.
Nilai tambah hasil jahe juga perlu difikirkan semenjak awal, bila hanya dijual dalam keadaan basah (segar) maka nilai tambahnya tidak begitu besar disamping mudah rusak.  Penanganan pascapanen dengan mengolah menjadi simplisia perlu dijadikan komponen kegiatan pengembangan jahe ini, dengan demikian disamping meningkatkan nilai tambah juga memudahkan dalam transportasi dan distribusi, bisa disimpan dalam waktu lama.
Pembinaan dan menumbuhkan champion tanaman obat ataupun penggerak membangun desa (PMD) tanaman obat juga perlu dilakukan.  Dengan demikian mereka dapat diajak dan diandalkan menjadi pelopor dalam menerobos pasar, kemitraan usaha dengan industri dan eksportir.  Sejauh ini champion dan PMD ini masih belum dijajaki di daerah Muaro Jambi ini, ke depan hal ini tentunya diharapkan dapat ditumbuhkan.

Dukungan Program dan Kebijakan
Pada saat kunjungan Menteri Pertanian di Kecamatan Muaro Sebo ini sudah mengatakan bahwa kegiatan pengembangan karet dan jahe terpadu ini sangat bagus dan perlu dikembangkan.  Bahkan beliau menantang supaya di lokasi model ini dapat dikembangkan seluas 100 Ha,  Tentu ini merupakan perintah Menteri ke Ditjen Hortikultura dan Dinas Pertanian Jambi yang perlu ditindak lanjuti.  Karena itu kegiatan ini akan dilanjutkan dan diperbesar dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pengusaha eksportir dan pengusaha karet.
Selanjutnya salam perencanaan kegiatan 2013, pengembangan jahe ini telah dimasukkan dan dijadikan salah satu kegiatan unggulan dan prioritas. Kerjasama dan dukungan dari Ditjen Perkebunan yang menangani komoditas karet juga diperlukan.  Dorongan dan dukungan berbagai pihak untuk penyempurnaan konsep, pembinaan intensif kepada petani dan pengembangan skala luas akan dilakukan dengan melibatkan berbagai institusi terkait, seperti halnya Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perdagangan, lembaga penelitian dan pengembangan, Dinas Perindustrian, dll.

Submitted by bardos on 1 February, 2012 - 09:10
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pola penganggaran terpadu (unified budget) dan berbasis kinerja (performance budget) maka dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi harus didasarkan pada indikator kinerja agar program pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Disamping itu target yang tercantum pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja – Kementerian/Lembaga harus selalu menjadi acuan dalam pelaksanaan tahapan pembangunan hortikultura.
Pembangunan hortikultura, secara umum dilaksanakan oleh petani dan masyarakat tani hortikultura di daerah pedesaan dan perkotaan. Pembangunan pertanian hortikultura ini pelaksanaanya diarahkan melalui kelompok tani sehingga dapat meningkatkan koordinasi serta sinergi dengan program dan kegiatan lainnya. Sejauh ini, program dan kegiatan pembangunan selalu diberikan kepada kelembagaan tani bukan kepada petani perorangan. Oleh karena itu pembentukan, penguatan, dan pemberdayaan kelembagaan petani merupakan hal penting dalam pembangunan hortikultura.
Direktorat Jenderal Hortikultura telah melaksanakan pola pemberdayaan petani melalui berbagai kegiatan berupa peningkatan kemampuan teknis dan penguatan modal usaha dalam bentuk bantuan sosial. Pemanfaatan bantuan sosial tersebut ditujukan untuk melindungi kelompok tani skala kecil yang rawan terhadap risiko sosial. Melalui bantuan sosial tersebut diharapkan kelompok tani mampu menjadi lembaga mandiri yang dapat mengelola sumberdaya yang dimiliki. Pola pemberdayaan seperti ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kelompok usaha dan mempercepat terbentuknya jaringan kelembagaan hortikultura di pedesaan yang akan menjadi embrio bagi tumbuhnya lembaga usaha petani yang kokoh di kawasan pengembangan hortikultura. Pola bantuan tersebut adalah dengan memanfaatkan jenis belanja bantuan sosial yang didefinisikan sebagai bantuan melalui transfer uang, barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar serta Buletin Teknis, maka dimungkinkan penyaluran dana ke masyarakat secara langsung guna membiayai program pembangunan.
Bantuan sosial yang dimaksud dalam petunjuk ini merupakan bantuan sosial dengan transfer uang kepada kelompok penerima manfaat (kelompok tani/gabungan kelompok tani dan lembaga) untuk membiayai kegiatan pengembangan kawasan hortikultura. Petunjuk Teknis ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/OT.140/1/2012 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Sosial Kementerian Pertanian Tahun Anggaran 2012.
Tujuan
Tujuan penyusunan Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Sosial Direktorat Jenderal Hortikultura ini adalah :
  1. Untuk memberikan acuan bagi Tim Teknis dalam penyaluran dan pengelolaan bantuan sosial baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
  2. Memperlancar pelaksanaan penyaluran dan pengelolaan bantuan sosial secara tertib, baik administrasi maupun pemanfaatannya.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup petunjuk ini meliputi Jenis Kegiatan dan Kriteria Penerima Manfaat Bantuan Sosial, Mekanisme Penyaluran dan Pengelolaan Bantuan Sosial, Pembinaan dan Pengendalian, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan.

Indikator Keberhasilan
Sasaran penyaluran bantuan sosial dapat dilihat dengan indikator keberhasilan yang mencakup indikator input, output, outcome, benefit dan impact.
  1. Masukan (Input)
    a. Sumber Daya Manusia (petugas dan pelaku usaha);
    b. Petunjuk Umum Pengelolaan Bantuan Sosial Kementerian Pertanian Tahun 2012;
    c. Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial lingkup Direktorat Jenderal Hortikultura Tahun 2012;
    d. Alokasi APBN Pengembangan Hortikultura sebesar: Rp. 193.883.750.000,-
  2. Keluaran (Output)
    Tersalurnya bantuan sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok sasaran melalui kegiatan pengembangan/pengutuhan kawasan tanaman buah, florikultura, tanaman sayuran dan tanaman obat di 229 kab/kota yang tersebar pada 32 provinsi.
  3. Hasil (Outcome)
    Menguatnya permodalan usaha dan kemampuan kelompok tani/ Gapoktan dalam peningkatan produksi dan mutu produk hortikultura untuk pengembangan/pengutuhan kawasan hortikultura (kawasan tanaman buah :8.041 Ha, kawasan florikultura : 354.850 M2, kawasan tanaman sayuran dan tanaman obat 5.148 Ha).
  4. Manfaat (Benefit)
    Meningkatnya kelembagaan usaha petani dalam rangka pengembangan/pengutuhan kawasan tanaman buah, florikultura, sayuran dan tanaman obat.
  5. Dampak (Impact)
Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk hortikultura melalui pengembangan kawasan tanaman buah, kawasan tanaman florikultura, kawasan sayuran dan tanaman obat.

Tidak ada komentar: